Wednesday, January 12, 2005

Perlunya Pemungutan Pajak Ekologi

(Published in Suara Merdeka: http://www.suaramerdeka.com/harian/0406/08/opi04.htm)
Oleh: Nuki Agya Utama

BELUM sepenuhnya masyarakat menyadari, bahwa banyak permasalahan pembangunan dan modernisasi kehidupan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan, serta akan menuju kepada permasalahan sosial dan ekonomi dalam jangka panjang.
Seperti dijelaskan (Colby, 1990), dalam paradigma ilmu ekonomi di era sekarang, semakin disadari perlunya dipertemukannya kembali ilmu ekologi dan ilmu ekonomi. Ibarat sekeping mata uang, ekologi merupakan salah satu sisinya, dan ekonomi merupakan sisi lainnya. Keduanya bertolak belakang, tetapi saling berkaitan.
Setelah revolusi industri 1900-an, pelaku ekonomi perusahaan multinasional memberlakukan alam sebagai sumber daya yang tak terbatas, dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk kepentingan manusia (M Baiquni, 2002).
Begitu halnya di negara kita, pengaruh ekonomi global dengan sistem kapitalis yang dianut negara-negara kreditor sangat memengaruhi pula sistem perekonomian dan investasi serta gaya hidup bangsa ini. Terjadilah pengolahan sumber daya alam yang berlebihan, perusakan hutan akibat ekploitasi sumber daya alam, dan makin banyaknya kendaraan bermotor di jalan-jalan.
Seperti yang terjadi pula baru-baru ini, yaitu kasus penyelundupan sebuah mobil mewah seharga Rp 750 juta dan masuknya puluhan jenis truk Scania yang tidak dilengkapi surat-surat lengkap di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Penyelundup dan pengguna kendaraan-kendaraan tersebut, tidak pernah berpikir panjang tentang kerugian yang akan diderita negara, serta dampak jangka panjang yang secara tidak sadar akan merugikan masyarakat kota Semarang. Kerugian yang akan diderita ialah, selain tidak adanya pendapatan dari sektor pajak, juga karena turunnya kualitas udara di kota akibat gas buang yang dihasilkan oleh puluhan truk tersebut.
Beberapa hari yang lalu, juga diberitakan tentang protes beberapa LSM di Belgia terhadap pembangunan sebuah gedung yang diyakini menggunakan kayu hasil impor dari hutan tropis negara kita. Kesadaran masyarakat Belgia perlu dicontoh oleh masyarakat kita, bahwa sudah sekian puluh tahun kayu-kayu di bumi Nusantara dibabat, dan itu sangat memprihatinkan.
Menurut catatan Depertemen Kehutanan, dalam waktu tiga tahun terakhir laju kerusakan hutan mencapai hampir tiga juta hektare per tahun. Kerusakan tersebut, ditimbulkan oleh aksi penebangan resmi dan liar.
Kawasan hutan yang rusak di Indonesia, kini mencapai 57 juta hektare atau hampir separo dari luas hutan permanen di Indonesia (Gatra, 2002).
Terkena Imbasnya
Kendaraan merupakan salah satu penghasil polusi terbesar di dunia, baik kendaraan pribadi maupun kendaraan barang dan komersial. Keuntungan materi secara langsung, mungkin hanya dirasakan oleh pengguna atau pemilik kendaraan-kendaraan tersebut; tetapi di lain pihak, terjadi penurunan kualitas udara akibat dari gas emisi yang dihasilkan oleh kendaraan-kendaraan itu.
Dampak tersebut, harus dibayar dan dirasakan oleh semua masyarakat pengguna jalan, termasuk pejalan kaki, abang becak, dan pengendara sepeda yang notabene rata-rata berasal dari golongan berkemampuan ekonomi lemah. Mereka harus menanggung akibat dengan menghirup CO, C02, dan kandungan unsur kimia lain yang berbahaya bagi metabolisme tubuh. Kesemuannya dihasilkan oleh penurunan kualitas udara, akibat gas emisi yang berlimpah dari kendaraan-kendaraan tersebut.
Kita tengok besarnya pendapatan asli daetrah (PAD) pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang mencapai Rp 1,5 triliun, atau naik sebesar Rp 102,69 miliar dari Rp 1,4 triliun. Kenaikan pendapatan daerah tersebut, sebagian besar disumbang dari sektor pajak kendaraan, baik Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) maupun Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) (Wawasan, 12 Mei 2004).
Kenaikan pendapatan daerah dari sektor pajak kendaraan bermotor tersebut, menunjukan bahwa secara kuantitas jumlah kendaraan bermotor di provinsi ini terus meningkat. Peningkatan jumlah kendaraan bermotor, juga secara otomatis akan meningkatkan jumlah gas emisi di provinsi ini. Penurunan kualitas udara, juga akan terjadi seiring dengan peningkatan kendaraan tersebut. Tidak semua orang bisa menikmati kemewahan atau fungsi kendaraan-kendaraan tersebut; tidak semua orang bisa menikmati pajak kendaraan tersebut; akan tetapi gas emisi yang dihasilkan oleh kendaraan-kendaraan itu harus dirasakan oleh hampir semua orang di provinsi ini.
Belum lagi bentuk ekplorasi alam yang hanya menguntungkan segelintir orang, dan efek kerusakan alam yang ditanggung oleh banyak orang yang tidak pernah mencicipi keuntungan tersebut. Tanah longsor, banjir, dan pemanasan global, merupakan akibat langsung dari ekploitasi dan ekplorasi alam yang tidak mengindahkan prinsip keberlanjutan.
Dari sekian banyak jenis pajak yang diberlakukan oleh Pemerintah, tidak ada satu pun yang dikhususkan untuk mengganti kerusakan udara, air, tanah, dan hutan akibat membanjirnya kendaraan (roda empat maupun roda dua).
Seperti kajian beberapa ahli lingkungan hidup, sekarang sudah saatnya para pengguna kendaraan menyisihkan sebagian uangnya untuk secara khusus membayar pajak ekologi, atau pajak yang dikhususkan untuk membiayai kerusakan ekologi akibat dampak langsung maupun tidak langsung dari penggunaan kendaraan, ekplorasi alam, dan kerusakan hutan.
Selain pengenaan pajak ekologi bagi pengguna jalan raya (kendaraan bermotor), pajak itu juga dikenakan kepada semua jenis kegiatan -baik yang menggunakan mesin maupun yang tidak- yang secara langsung maupun tidak langsung kegiatannya menghasilkan dampak negatif terhadap lingkungan, seperti kegiatan manufacture (pabrik), ekploitasi pasir sungai, serta pemanfaatan hutan bukan hutan produksi.
Pajak Ekologi
Sudah saatnya kita mendukung Pemerintah untuk memberlakukan kebijakan yang berpihak kepada lingkungan dan masyarakat umum demi mengurangi efek negatif akibat gas emisi dan kerusakan lingkungan lainnya.
Pemberlakuan pajak ekologi atau pemungutan pajak tambahan bagi semua aspek yang memengaruhi rusaknya lingkungan, baik penurunan kualitas udara, air, tanah, maupun hutan, sudah saatnya dikaji untuk diimplementasikan.
Dengan kontrol ketat dari wakil rakyat, pajak tersebut hanya diperuntukan untuk memperbaiki kerusakan alam akibat campur tangan manusia, seperti penurunan polusi udara.
Pajak ekologi dipakai untuk pembuatan hutan kota dan biaya peningkatan kontrol emisi, serta pembuatan jalur-jalur khusus pejalan kaki dan pemakai sepeda. Terhadap penurunan kualitas air dan cadangan air, pajak ekologi dipakai untuk menambah pusat penampungan dan penjernihan air, serta subsidi bagi pembuatan sumur resapan di rumah-rumah penduduk yang kurang mampu.
Terhadap penurunan kualitas tanah akibat penambangan liar dan ekplorasi atas kandungan tanah, pajak ekologi digunakan untuk merehabilitasi kawasan yang rusak dan membuka lapangan kerja baru bagi pekerja-pekerja kasar di pertambangan tersebut.
Terhadap kerusakan hutan, pajak ekologi digunakan sebagai modal awal pembuatan hutan produksi. Sudah saatnya di setiap provinsi memiliki hutan produksi sendiri, yang bertujuan untuk memenuhi permintaan kayu bagi daerahnya dan kebutuhan ekspor.
Pajak ekologi diberlakukan seperti halnya pajak biasa, akan tetapi hanya dipungut dari sektor-sektor usaha, kegiatan, dan penggunaan yang -secara langsung atau tidak- dapat menurunkan kualitas alam; seperti pemungutan pajak ekologi bagi pengguna kendaraan bermesin, yang dimulai dari kendaraan roda dua dan seterusnya. Pemberlakuan pajak, dibebankan secara berimbang; semakin mahal kendaraan yang digunakan, semakin banyak pajak yang dibebankan. Hl itu juga harus mempertimbangkan besarnya efek gas buang dari kendaraan tersebut; semakin besar persentase gas emisi yang terbuang, semakin besar pula pajak yang harus dibayarkan kepada Pemerintah.
Pajak ekologi juga dipungut dari perusahaan penghasil limbah udara, cair, maupun padat. Jenis pajak ekologi itu, lepas dari pajak-pajak yang sudah dipungut sebelumnya. (29a)
-Nuki Agya Utama ST MSc, alumnus London South Bank University, UK dan HAN University, the Netherlands.

1 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Tulisan yang menggugah kita untuk sadar bahwa secara mikro manusia sudah berperan sedikit demi sedikit merusa alam namun tidak menyadari dan secara makro.. bukan yang merusak alam yang merasakan akibatnya tapi justru orang2 kecil yang tidak mampu membayar akibat dari kerusakan itu.
Semoga pihak2 yang berperan (bahasa ilmiahnya stakeholders) mau meluangkan barang 5 menit untuk membaca tulisan ini.

AR di Wageningen

2:16 PM  

Post a Comment

<< Home