Wednesday, February 23, 2005

Rumah Susun Ramah Lingkungan

This following article was published on February 19, 2005 (Retrieved on: http://www.suaramerdeka.com/harian/0502/19/opi4.htm)

By: Nuki Agya Utama

PEMBANGUNAN perumahan memang menjadi dasar kebutuhan masyarakat dan tuntutan pemerintah (daerah/pusat) untuk memenuhinya. Akan tetapi apabila pembangunan perumahan hanya berdasarkan target penyelesaian tanpa memperhitungkan faktor lain, pembangunan tersebut akan lebih bernuansa pemborosan dan merusak daripada memenuhi kebutuhan masyarakat dalam jangka panjang.

Pemerintah mengalokasikan dana senilai Rp 3 miliar untuk subsidi rumah sederhana sehat tahun ini. Jumlah itu dianggarkan bagi 3.000 unit rumah dari total kebutuhan 13.000 unit di Jateng. Saat ini, pemerintah provinsi telah menyediakan Rp 700 juta, dan sisanya masih menunggu kucuran dana dari pemerintah pusat (Suara Merdeka11/2, 2005). Berita yang sangat menggembirakan tentunya, masyarakat kecil bisa menikmati rumah dengan harga yang relatif terjangkau, seiring dengan semakin beratnya memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, serta kemungkinan harga-harga naik karena kenaikan BBM.

Seperti dijelaskan lagi oleh Dinas Kimtaru Jateng, pemberian subsidi dilakukan pada pengembang yang mendirikan minimal 1.000 unit rumah. Pengembang yang akan mendirikan rumah minimal 1000 unit merupakan pengembang besar dan bukan kecil-kecilan, minimal Rp20 miliar diperlukan apabila harga satuan rumah Rp 20 juta, belum harga pembebasan tanah, bunga bank dan biaya-biaya lain.

Rumah sebagai tempat tinggal dengan kapasitas standar memang diperlukan, selain harga terjangkau juga memenuhi standar tempat tinggal bagi pemilik menengah ke bawah.

Penggunaan Lahan
Akan banyak sekali kebutuhan akan rumah sederhana di Jawa tengah diiringi dengan penggunaan lahan bagi kebutuhan pembangunan unit rumah tersebut. Dari 13.000 unit rumah yang dibutuhkan apabila satu unit rumah (tipe 21) memerlukan tanah minimal 36 m2 akan dibutuhkan sekitar 468.000 m2 lahan rumah. Belum lagi lahan yang dipergunakan sebagai lahan penunjang/infrastruktur, sesuai standar pembangunan perumahan 40% diperuntukan sebagai lahan terbuka, sehingga dari total kebutuhan lahan baru bagi perumahan baru adalah 1.170.000 m2.

Lebih lagi seperti yang kita ketahui, pembangunan rumah sederhana oleh pengembang tidak menguntungkan apabila tidak membangun rumah menengah dan mewah. Alokasi lahan bagi rumah bukan akan meningkat 3-4 kali lipat dari kebutuhan akan lahan bagi 13.000 rumah.
Perubahan tata guna lahan juga berlaku bagi lahan pertanian. Seperti diungkapkan Kepala Bidang statistik BPS Jateng, diperkirakan, sekitar 2 - 3 persen lahan pertanian di Provinsi Jawa Tengah setiap tahunnya berubah fungsi menjadi lahan permukiman atau industri.

Perubahan fungsi lahan pertanian ini seiring dengan perkembangan penduduk yang semakin bertambah. Disebutkan lagi bahwa pertanian menyumbang sekitar 23 persen pada pendapatan domestik bruto (PDB) Jateng. Perubahan lahan hutan dan lahan subur lainnya menjadi perumahan sudah jamak terjadi di Pulau Jawa, seiring dengan semakin padatnya penduduk yang mendiami pulau ini.

Penambahan bangunan perumahan sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pembangunannya harus memikirkan dampak lingkungan perubahan lahan menjadi lahan perumahan, kurangnya daya resap tanah terhadap air hujan, pengolahan limbah rumah tangga (RT), dan distribusi air bersih harus menjadi prioritas pemerintah dan pengembang.

Prioritas bukan melulu target pembangunan rumah secara kuantitas, kualitas rumah sehat juga harus memperhitungkan minimal-nya kerusakan lingkungan dan daya serap sumber daya alam akibat pembangunan tersebut.

Ke Atas Menguntungkan
Pembangunan perumahan ke atas (vertically) lebih menguntungkan dalam banyak hal dibandingkan pembangunan perumahan kesamping (horizontally). Pengembangan perumahan secara horisontal cenderung menggunakan lahan pertanian, hutan dan lahan hijau lainya sedangkan pembangunan rumah secara vertikal lebih minim dalam hal penggunaan lahan.
Sepuluh rumah tipe 21/36 memanfaatkan lahan sebanyak 360 m2, sedangkan pembangunan secara vertikal cukup 180 m2, atau bahkan kurang. Tanah terbuka secara alami membantu penyerapan air hujan ke dalam tanah, pembangunan perumahan secara vertikal, dapat meminimalisasi penggunaan lahan resapan air dari bangunan. Selain itu pengolahan air hujan untuk diolah menjadi air baku pada satu gedung lebih mudah dibandingkan pada tipikal perumahan yang ada sekarang.

Dilihat dari sudut pandang ekonomi, pembangunan perumahan secara vertikal jauh lebih mudah, murah dan cepat dalam pengerjaannya. Lebih mudah dan cepat, karena bisa memanfaatkan teknologi pre-fabricate untuk dinding dan kolom-kolom non-struktural. Lebih murah karena beberapa elemen bangunan seperti rangka atap dan fondasi hanya dibuat satu per sekian rumah.

Beberapa faktor lain juga mendukung pembuatan bangunan secara vertikal jauh lebih efektif dan efisien, seperti meminimalisasi biaya pembebasan lahan serta dalam beberapa kasus penggunaan tenaga kerja bisa diminimalisasi.

Sistem pengomposan limbah manusia dan limbah padat RT lainnya bisa diterapkan lebih mudah dan efektif pada rumah vetikal. Penerapan teknologi pengomposan limbah sebagai pupuk lahan pertanian baru-baru ini sudah banyak dikembangkan dan mulai diterapkan pada lingkungan perumahan. Teknologi ini akan lebih mudah diterapkan apabila rumah yang dibangun berbentuk susun daripada perumahan yang ada sekarang.

Penerapan pasif teknologi untuk pendingin ruangan juga menjadi lebih sederhana dan tidak memakan biaya apabila diterapkan dirumah susun. Sistem pendingin ruangan dengan ventilasi mekanik dan semi-mekanik serta penataan interior dan posisi ventilasi bangunan dengan memaksimalkan cahaya matahari sebagai sumber cahaya dan aliran udara sebagai pendingin.
Solar panel, sebagai alternatif sumber energi bisa dipasang di atap-atap bangunan rumah susun.

Dibandingkan dengan perumahan yang ada sekarang, solar panel tetap bisa digunakan akan tetapi pendistribusiannya akan jauh lebih mahal. Secara kultural, hidup bersosialisasi di rumah susun (vertikal) terlihat lebih sulit. Tetapi apabila kita sudah terbisa 1-2 tahun, hidup di rumah susun/vertikal akan jauh lebih mudah bersosialisasi satu keluarga dengan yang lainnya.
Sampai saat ini jumlah rumah vertikal masih amat jarang, beberapa rumah susun bagi penduduk miskin memang sudah dibangun. Akan tetapi rumah susun yang layak dan ditempatkan di perumahan-perumahan belum terlihat keberadaanya secara signifikan di Jawa Tengah. Rumah susun bukan juga diorientasikan kepada ekonomi lemah, tetapi juga menengah bahkan kalangan mampu.

Orientasi dan berpikir jangka panjang lebih jauh menguntungkan baik oleh masyarakat pengguna, pemerintah maupun pengembang daripada pemikiran jangka pendek. Jadikan rumah sebagai pelindung manusia dan sahabat lingkungan, bukan menjadikan rumah benalu bagi induk semangnya (bumi).(18)

- Nuki Agya Utama, ST, MSc lulusan S2 dari London South Bank University UK dan HAN University, the Netherlands.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home